Minggu, 31 Mei 2015

Bunda Mawar, Dua Kali Kesundulan? AMAZING! :)

Amazing. Itulah yang kami rasakan ketika pertama kali melihat dua garis itu. Akhirnya setelah setahun menikah, dengan perjuangan yang menguras tenaga dan emosi, hal yang kami nantikan hadir juga. Kehamilan pertama sang buah hati. Hari demi hari kami lalui dengan gembira. Mengelus dan mengajak si kecil dalam kandungan bercengrama, merasakan gerakan-gerakan halusnya serta tentunya mengunjungi forum-forum kehamilan di internet sembari berkomentar, “Yah, anak kita hari ini sudah usia segini lho. Hari ini bagian ininya berkembang, bla bla bla”. Tak jarang pula saya berteriak memanggil suami agar segera datang merasakan gerakan si kecil yang lucu, kemudian berakhir dengan saling gelitik dan cekikikan bersama. Ah, everyday is heaven!

Kemudian hari itu pun tiba. Kami sudah siap dengan segala kemungkinan. Dari mulai bergabung di komunitas Gentle Birth, senam hamil setiap Sabtu, hingga jalan pagi dan sore setiap hari. Semua kami persiapkan dengan maksimal demi menyambut kelahiran buah hati kami yang pertama. Alhamdulillah, Muhammad Faruq Mokhtar Rifa’i lahir dengan sangat lancer dan tanpa rasa sakit, pada hari Kamis 26 April 2012.

Faruq tumbuh jadi anak yang saaaaangat lucu dan periang. Lari kesana kemari, lompat, memanjat, seakan tak merasa lelah sedikit pun. Sejak lahir, Faruq sangat jarang menangis. Kami pun hampir tak pernah merasakan begadang karena Faruq selalu tidur sepanjang malam, sejak habis Isya hingga pagi. Saya dan suami pun jadi bebas ber-Me Time sendiri, hehehe.

Karena Faruq hadir setelah kami menunggu cukup lama, saya dan suami sepakat untuk tak menggunakan KB. Sedikasihnya lah, begitu pikir kami saat itu. Toh ASI eksklusif sudah bisa jadi KB, kan. Apalagi sejak selesai nifas saya belum mens sama sekali. Tamu bulanan itu baru datang di usia Faruq 10 bulan.

Namun, bulan selanjutnya, si tamu tak datang lagi. Bulan berikutnya pun tak datang. Awalnya saya pede karena dulu sebelum hamil Faruq pun haid saya tak teratur, apalagi sambil menyusui Faruq, pikir saya. Tapi makin lama, saya makin merasakan keanehan. Mual datang, pusing mendera, penciuman pun makin peka. Akhirnya kami putuskan test pack, dan ternyataaaaaaa hasilnya positif! Oh No! Memang kami menginginkan anak banyak dan kami ingin Faruq segera punya adik, tapi tak secepat iniii...

Kehamilan kedua begitu berbeda. Saya melaluinya dengan berat. Saat hamil Faruq saya begitu perkasa, hehehe. Tapi entah mengapa hamil kedua ini saya lemah tak bertenaga. Setiap hari kram, lemaaaas terus, malah pernah hampir pingsan. Mual muntah jangan ditanya deh. Sampe usia kehamilan hampir 5 bulan saya masih muntah parah, padahal frekuensi muntah saat hamil Faruq bisa dihitung dengan jari. Belum lagi kondisi sekitar yang kurang mendukung dan menguras emosi. Ah, capek lahir batinlah pokoknya.

Belajar berlaku adil pada anak-anak tidak dimulai saat si adik sudah lahir, beranjak balita atau bahkan saat mau sekolah. No. Belajar bersikap adil sebagai orang tua harus segera dimulai di detik ketika kita tahu si sulung akan punya adik. Orang tua harus bisa memberi porsi perhatian dan kasih sayang yang seimbang di semua anaknya. Teorinya gampang, ya. Prakteknya, tak bisa dipungkiri, perhatian kami untuk sang adik di dalam kandungan tak sebesar kehamilan pertama. Sebagian besar waktu kami tercurah untuk Faruq yang sedang seru-serunya berlari, bereksplorasi, dan belajar bicara. Setiap hari yang ada di pikiran saya "hari ini Faruq diajari apa lagi ya?", bukan "si kecil di perut sekarang berkembang apanya ya?".

Anak kedua di dalam kandungan hampir terabaikan. Kami jarang bercengkerama dengannya karena lebih banyak melatih Faruq kosa kata baru. Tak ada lagi menengok babycenter atau forum ibu hamil seperti di kehamilan pertama dulu. Boro-boro menghitung usia dan perkembangan setiap hari, saat periksa rutin bulanan pun selalu disertai komentar "lhoo sudah umur segini ya, nggak terasa ya". Selain itu, sebaik-baiknya saya berusaha menjaga asupan nutrisi untuk si adik, ia tetap harus berbagi dengan Faruq yang saat itu masi ASI. Saya memang bertekad untuk terus menyusui meski sedang hamil alias Nursing While Pregnant (NWP), Agar kedua anak saya mendapatkan haknya secara sempurna, ASI hingga 2 tahun.

Keputusan saya menyusui saat hamil ternyata kurang tepat. Mungkin dalam kasus lain, banyak ibu yang sukses menyusui ketika hamil. Namun, di usia kehamilan saya yang memasuki bulan keempat, Faruq opname karena pneumonia akut dan anemia. Kondisi Faruq yang kritis memaksa kami memberikan susu formula tambahan karena, menurut dokter yang menangani, nutrisi di ASI saya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan Faruq sehari-hari sehingga memicu anemia dan memperparah kondisinya. Tak heran, karena setiap makanan yang masuk perut saya pasti keluar lagi.

Setelah dirawat hampir dua minggu, Faruq pun diizinkan pulang. Perjuangan menyapih Faruq pun dimulai. Faruq yang sebelumnya sudah mau diberi susu formula mulai menolak dan meminta ASI lagi. Saya yang tak tega mendengar tangisnya akhirnya pun menuruti. Tapi kini keadaannya terbalik. Tubuh saya yang tak bisa menerima. Saya mimisan setiap hari, kram perut makin sering, anemia parah sampai ada yang menyebut saya seperti zombie. Pucat sekali. Tapi saya tak tega, benar-benar tak tega melepas Faruq dari dekapan saya, menatap matanya yang tanpa dosa, bibirnya yang sesekali tersenyum jika saya goda, juga genggaman tangan mungilnya yang seakan tak ingin saya lepaskan. Saya belum rela. Himbauan dokter kandungan untuk segera menyapih Faruq melihat kondisi saya pun tak saya hiraukan. Biarlah saya yang sakit asal Faruq tetap menyusu. Pokoknya saya ingin berlama-lamaaaa dengan Faruq. Puncaknya, ibu saya yang geregetan pun ikut menegur, "kamu bilang kamu nggak tega liat anakmu nangis? Belum rela? Lha terus anak di perutmu gimana? Itu anakmu juga! Kamu tega???" Deg. Saya baru sadar. Ada jiwa lain yang harus saya pertahankan, ada makhluk kecil lain yang juga harus saya pikirkan keadaannya.

Dengan sangat berat hati, saya dan suami sepakat memutuskan untuk menyapih Faruq. Hari-hari pertama dipenuhi dengan tangisan. Faruq menangis, saya pun menangis. Saya patah hati. Tercabik-cabik rasanya harus menyapih secepat ini. Sering saya sengaja memeluknya hanya untuk mengenang saat-saat Faruq masih menyusu, lalu mengabadikannya. Saya tak ingin kehilangan momen ini, momen yang takkan pernah saya miliki lagi bersamanya. Di bulan kehamilan saya yang ke-6, Faruq akhirnya berhasil disapih sama sekali. Saat itu usianya 18 bulan.

Masa kehamilan kedua yang penuh ups and downs diakhiri dengan persalinan yang sulit. HPL sudah tiba tapi saya tak merasakan kontraksi teratur, padahal saat diperiksa ternyata saya sudah pembukaan 1. Minggu depannya, masih juga bukaan 1. Saya makin galau. Segala usaha telah saya lakukan. Makan durian, nanas, goyang inul, jalan-jalan, bahkan meminum hingga 34 butir pelunak rahim tak ada pengaruhnya. Sakitnya jangan ditanya deh, ampuuun Naudzubillah. Akhirnya saya pasrah, saya "berusaha" santai. Memanggil terapis spa ibu hamil, ngedate, nonton, dan bermesraan dengan suami, hehehe pokoknya refreshing. Jam 2 dini hari, ketuban saya rembes. Kami pun bergegas ke rumah sakit begitu langit mulai terang. Masih bukaan 1. Tiga jam kemudian, bukaan masih juga tak bertambah. Akhirnya diputuskan induksi infus jam 2 siang. Sakitnya luarrrr biasa. Saya tak siap, tak sanggup, karena saat melahirkan Faruq dulu tak sesakit ini. Saya tak lagi melihat jam karena melihat jarum detik bergerak lambat seakan membuat rasa sakitnya makin menjadi-jadi. Akhirnya dorongan mengejan tiba, tapi rasanya ada yang salah. Berkali-kali saya mengejan, si adik tak keluar-keluar. Saya lelah, kehabisan napas dan tenaga. Setelah dibantu bidan didorong dari atas, akhirnya anak kedua kami lahir. Ternyata bayinya besar sekali, 3,8 kilo. Begitu besar sampai bahunya tak bisa melewati panggul saya yang sempit. Syukurlah dokter kami pro normal jadi tak asal merujuk untuk operasi.

Perjuangan tak berhenti sampai di situ. Saya drop, sampai gemetar karena kehabisan tenaga dan saking banyaknya darah yang keluar. Kondisi saya yang begitu lemah, tak kuat duduk dan muntah terus menerus memaksa saya tetap bertahan di ruang bersalin hingga dini hari keesokan harinya. Saya kapook, nggak mau hamil lagiiii..

Proses kehamilan yang penuh liku dan persalinan yang menyakitkan membuat saya down di hari-hari awal setelah melahirkan. Ditambah badan yang serasa luluh lantak kelelahan karena mengurus dua anak. Mata ini rasanya menangis pun tak sanggup. Filza menangis tiap malam dan takkan tidur sebelum jam 2 pagi. Saat saya dan suami mau beristirahat, jam 4 pagi si kakak sudah bangun minta susu dan akan tetap terjaga hingga sore. Begitu terus setiap hari. Syukurlah suami begitu setia dan siaga mendampingi. Tapi hati ini tak kuasa rasanya. Saya jarang tersenyum, mencium Filza pun tak pernah. Saya mendekati Filza hanya saat dia minta nenen dan popoknya basah saja. Kalau ada yang mau gendong, saya akan menyerahkannya dengan suka rela. Bahkan saat ada yang bilang "aduuh lucunyaa", saya pasti menggumam dalam hati "ih lucu dari mana?". Setelah 2 minggu berlalu, saya tertegun, jangan-jangan ini baby blues. Oh No, I need help! Tapi mau curhat ke siapa?

Curhat ke suami tak mungkin, karena saya tak ingin menambahi beban pikirannya. Dia sudah sangaaat banyak berjasa mendampingi saya di saat-saat terberat. Curhat ke ibu? Mana mungkiiiiiin. Ibu saya wanita tangguh luar biasa, yang mampu membesarkan dan mendidik 7 anak sendiri (semua kesundulan lho), dengan keadaan ekonomi pas-pasan dan suami yang tak begitu pengertian. Lha saya, anak juga baru dua, ekonomi Alhamdulillah cukup, dan suami yang luar biasa baik. Masa mau mengeluh ke beliau? Malu dong, hehehe. Akhirnya saya putuskan curhat ke adik saya saja. Saya ungkap semua, betapa saya sangat lelah, trauma, sedih, galau segalau-galaunya karena baby blues ini. Benar saja, setelah curhat, perasaan saya jadi ploong. Adik saya memang belum menikah, tapi dia begitu dewasa dan pintar membesarkan hati saya.

Saya pun mulai berusaha menumbuhkan kecintaan saya pada Filza. Mengajaknya bercanda, menciumnya, dan menggendongnya berlama-lama. Wow anak ini memang lucu ternyata. Dia cantik, murah senyum, pipinya gembul dan suaranya sangat menggemaskan. Ah Filza, bunda sayaaaaaang sekali sama kamu, Nak. Sempat terbersit penyesalan kenapa bisa terjadi baby blues di awal kehadirannya, tapi saya sangat, sangat bersyukur itu semua sudah berlalu.

After all, punya dua anak dengan jarak berdekatan ternyata seru lhoo. Dulu saya kebingungan mencari aktivitas atau permainan buat Faruq, sekarang tak perlu kuatir karena Faruq sudah ada teman main. Setiap hari selaluu saja ada kejadian lucu melihat tingkah mereka berdua. Well, memang ada saat berat seperti di kala mereka tantrum atau sakit berbarengan, saya dan suami juga kelelahan hingga akhirnya hal kecil seperti berebutan mainan pun bisa menguras emosi. Tapi tawa mereka, keceriaan mereka saat bermain berlarian di rumah, membuat kami menyadari bahwa itu anugrah tak terkira. Bahkan kadang ketegangan antara saya dan suami bisa begitu mudah mencair melihat kelucuan anak-anak.

Kekhawatiran saya bahwa nanti ada kecemburuan di antara mereka ternyata tak terbukti. Alhamdulillah, Faruq bisa begitu telaten membimbing Filza, dan Filza begitu sayang kakaknya. Memang ada saat-saat mereka saling mengusili satu sama lain, tapi ya begitulah anak-anak. Kalau keduanya bangun ya rebutan, tapi kalau salah satu tidur atau tak ada pasti satunya kangen dan mencari-cari. Yang lucu, kadang mereka bekerja sama mengusili saya dan ayahnya, hahaha.

By the way, ungkapan banyak anak banyak rejeki ada benarnya juga lho. Setiap hamil, pasti ada satu proyek besar dan bergengsi yang kami terima, yang pada akhirnya menjadi proyek rutin dan makin berkembang setiap tahun. Oh iya, kami memang memiliki usaha sendiri. Tapi yang jelas, arus rejeki makin deras mengalir seiring bertambahnya anak-anak. Bahkan, saya yang seumur-umur tak pernah menang undian sekalipun, bisa memenangkan hadiah utama sebuah sepeda motor di ajang pameran mobil ternama. Saking senangnya, saya sampai jejingkrakan sambil berlari ke tengah venue acara padahal sedang hamil Filza 8 bulan, hahaha. Rupanya memang benar, setiap anak membawa rejeki sendiri-sendiri, seperti kata suami saya :) 

Sekarang, saya sedang hamil anak ketiga. Kesundulan lagi, hehehe… dan jaraknya lebih dekat dibanding jarak antara Faruq dan Filza. Tapi kali ini saya lebih siap, dan Insya Allah kehamilan ini saya jalani dengan
bahagia, karena kehamilan dan punya anak berderet dengan jarak usia berdekatan itu AMAZING! :)

8 komentar:

  1. Horeee sundulers,siiiip mak mawar ;) kesundulan memang amazing ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ho oh amaziing, makanya sampe diulang 2x hahaha

      Hapus
  2. Betul sekali. Saya speechless bacanya karena hampir sama seperti apa yg saya rasakan. Anak kedua saya lahir ketika si sulung berusia 22 bulan. Repot? iya. Cape? Pasti. Tapi menjadi ibu tetap luar biasa. Dan itu nikmat Tuhan yang patut disyukuri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Repot iya, tapi happy jugaa lihat aksi mereka. Anak saya yg pertama skrg 4y1m, kedua 2y4m, nomor 3 umur 9m. Seruuu hehehe

      Hapus
  3. saya berharap seperti bunda..
    Tapi sayangnya sampai sekarang saya belum juga diberi momongan. saya bernadzar kalau misal diberi momongan, saya tidak akan menunda untuk anak ke-2. sedikasihnya aja. Aamiin :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga bunda dyah segera mendapat momongan ya. Amin
      Rata2 kami yang ada di komunitas the sundulers juga awalnya menanti momongan lama, sehingga kami memutuskan untuk tidak menunda anak ke 2 :)
      Semangat bunda ;)

      Hapus
    2. Amiin, semoga segera diberi momongan, anak sehat sholih sholiha yaaa

      Hapus