Amazing.
Itulah yang kami rasakan ketika pertama kali melihat dua garis itu.
Akhirnya setelah setahun menikah, dengan perjuangan yang menguras tenaga
dan emosi, hal yang kami nantikan hadir juga. Kehamilan pertama sang
buah hati. Hari demi hari kami lalui dengan gembira. Mengelus dan
mengajak si kecil dalam kandungan bercengrama, merasakan gerakan-gerakan
halusnya serta tentunya mengunjungi forum-forum kehamilan di internet
sembari berkomentar, “Yah, anak kita hari ini sudah usia segini lho.
Hari ini bagian ininya berkembang, bla bla bla”. Tak jarang pula saya
berteriak memanggil suami agar segera datang merasakan gerakan si kecil
yang lucu, kemudian berakhir dengan saling gelitik dan cekikikan
bersama. Ah, everyday is heaven!
Kemudian
hari itu pun tiba. Kami sudah siap dengan segala kemungkinan. Dari
mulai bergabung di komunitas Gentle Birth, senam hamil setiap Sabtu,
hingga jalan pagi dan sore setiap hari. Semua kami persiapkan dengan
maksimal demi menyambut kelahiran buah hati kami yang pertama.
Alhamdulillah, Muhammad Faruq Mokhtar Rifa’i lahir dengan sangat lancer
dan tanpa rasa sakit, pada hari Kamis 26 April 2012.
Faruq
tumbuh jadi anak yang saaaaangat lucu dan periang. Lari kesana kemari,
lompat, memanjat, seakan tak merasa lelah sedikit pun. Sejak lahir,
Faruq sangat jarang menangis. Kami pun hampir tak pernah merasakan
begadang karena Faruq selalu tidur sepanjang malam, sejak habis Isya
hingga pagi. Saya dan suami pun jadi bebas ber-Me Time sendiri, hehehe.
Karena
Faruq hadir setelah kami menunggu cukup lama, saya dan suami sepakat
untuk tak menggunakan KB. Sedikasihnya lah, begitu pikir kami saat itu.
Toh ASI eksklusif sudah bisa jadi KB, kan. Apalagi sejak selesai nifas
saya belum mens sama sekali. Tamu bulanan itu baru datang di usia Faruq
10 bulan.
Namun,
bulan selanjutnya, si tamu tak datang lagi. Bulan berikutnya pun tak
datang. Awalnya saya pede karena dulu sebelum hamil Faruq pun haid saya
tak teratur, apalagi sambil menyusui Faruq, pikir saya. Tapi makin lama,
saya makin merasakan keanehan. Mual datang, pusing mendera, penciuman
pun makin peka. Akhirnya kami putuskan test pack, dan ternyataaaaaaa
hasilnya positif! Oh No! Memang kami menginginkan anak banyak dan kami
ingin Faruq segera punya adik, tapi tak secepat iniii...
Kehamilan
kedua begitu berbeda. Saya melaluinya dengan berat. Saat hamil Faruq
saya begitu perkasa, hehehe. Tapi entah mengapa hamil kedua ini saya
lemah tak bertenaga. Setiap hari kram, lemaaaas terus, malah pernah
hampir pingsan. Mual muntah jangan ditanya deh. Sampe usia kehamilan
hampir 5 bulan saya masih muntah parah, padahal frekuensi muntah saat
hamil Faruq bisa dihitung dengan jari. Belum lagi kondisi sekitar yang
kurang mendukung dan menguras emosi. Ah, capek lahir batinlah pokoknya.
Belajar
berlaku adil pada anak-anak tidak dimulai saat si adik sudah lahir,
beranjak balita atau bahkan saat mau sekolah. No. Belajar bersikap adil
sebagai orang tua harus segera dimulai di detik ketika kita tahu si
sulung akan punya adik. Orang tua harus bisa memberi porsi perhatian dan
kasih sayang yang seimbang di semua anaknya. Teorinya gampang, ya.
Prakteknya, tak bisa dipungkiri, perhatian kami untuk sang adik di dalam
kandungan tak sebesar kehamilan pertama. Sebagian besar waktu kami
tercurah untuk Faruq yang sedang seru-serunya berlari, bereksplorasi,
dan belajar bicara. Setiap hari yang ada di pikiran saya "hari ini Faruq
diajari apa lagi ya?", bukan "si kecil di perut sekarang berkembang
apanya ya?".
Anak
kedua di dalam kandungan hampir terabaikan. Kami jarang bercengkerama
dengannya karena lebih banyak melatih Faruq kosa kata baru. Tak ada lagi
menengok babycenter atau forum ibu hamil seperti di kehamilan pertama
dulu. Boro-boro menghitung usia dan perkembangan setiap hari, saat
periksa rutin bulanan pun selalu disertai komentar "lhoo sudah umur
segini ya, nggak terasa ya". Selain itu, sebaik-baiknya saya berusaha
menjaga asupan nutrisi untuk si adik, ia tetap harus berbagi dengan
Faruq yang saat itu masi ASI. Saya memang bertekad untuk terus menyusui
meski sedang hamil alias Nursing While Pregnant (NWP), Agar kedua anak
saya mendapatkan haknya secara sempurna, ASI hingga 2 tahun.
Keputusan
saya menyusui saat hamil ternyata kurang tepat. Mungkin dalam kasus
lain, banyak ibu yang sukses menyusui ketika hamil. Namun, di usia
kehamilan saya yang memasuki bulan keempat, Faruq opname karena
pneumonia akut dan anemia. Kondisi Faruq yang kritis memaksa kami
memberikan susu formula tambahan karena, menurut dokter yang menangani,
nutrisi di ASI saya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan Faruq sehari-hari
sehingga memicu anemia dan memperparah kondisinya. Tak heran, karena
setiap makanan yang masuk perut saya pasti keluar lagi.
Setelah
dirawat hampir dua minggu, Faruq pun diizinkan pulang. Perjuangan
menyapih Faruq pun dimulai. Faruq yang sebelumnya sudah mau diberi susu
formula mulai menolak dan meminta ASI lagi. Saya yang tak tega mendengar
tangisnya akhirnya pun menuruti. Tapi kini keadaannya terbalik. Tubuh
saya yang tak bisa menerima. Saya mimisan setiap hari, kram perut makin
sering, anemia parah sampai ada yang menyebut saya seperti zombie. Pucat
sekali. Tapi saya tak tega, benar-benar tak tega melepas Faruq dari
dekapan saya, menatap matanya yang tanpa dosa, bibirnya yang sesekali
tersenyum jika saya goda, juga genggaman tangan mungilnya yang seakan
tak ingin saya lepaskan. Saya belum rela. Himbauan dokter kandungan
untuk segera menyapih Faruq melihat kondisi saya pun tak saya hiraukan.
Biarlah saya yang sakit asal Faruq tetap menyusu. Pokoknya saya ingin
berlama-lamaaaa dengan Faruq. Puncaknya, ibu saya yang geregetan pun
ikut menegur, "kamu bilang kamu nggak tega liat anakmu nangis? Belum
rela? Lha terus anak di perutmu gimana? Itu anakmu juga! Kamu tega???"
Deg. Saya baru sadar. Ada jiwa lain yang harus saya pertahankan, ada
makhluk kecil lain yang juga harus saya pikirkan keadaannya.
Dengan
sangat berat hati, saya dan suami sepakat memutuskan untuk menyapih
Faruq. Hari-hari pertama dipenuhi dengan tangisan. Faruq menangis, saya
pun menangis. Saya patah hati. Tercabik-cabik rasanya harus menyapih
secepat ini. Sering saya sengaja memeluknya hanya untuk mengenang
saat-saat Faruq masih menyusu, lalu mengabadikannya. Saya tak ingin
kehilangan momen ini, momen yang takkan pernah saya miliki lagi
bersamanya. Di bulan kehamilan saya yang ke-6, Faruq akhirnya berhasil
disapih sama sekali. Saat itu usianya 18 bulan.
Masa
kehamilan kedua yang penuh ups and downs diakhiri dengan persalinan
yang sulit. HPL sudah tiba tapi saya tak merasakan kontraksi teratur,
padahal saat diperiksa ternyata saya sudah pembukaan 1. Minggu depannya,
masih juga bukaan 1. Saya makin galau. Segala usaha telah saya lakukan.
Makan durian, nanas, goyang inul, jalan-jalan, bahkan meminum hingga 34
butir pelunak rahim tak ada pengaruhnya. Sakitnya jangan ditanya deh,
ampuuun Naudzubillah. Akhirnya saya pasrah, saya "berusaha" santai.
Memanggil terapis spa ibu hamil, ngedate, nonton, dan bermesraan dengan
suami, hehehe pokoknya refreshing. Jam 2 dini hari, ketuban saya rembes.
Kami pun bergegas ke rumah sakit begitu langit mulai terang. Masih
bukaan 1. Tiga jam kemudian, bukaan masih juga tak bertambah. Akhirnya
diputuskan induksi infus jam 2 siang. Sakitnya luarrrr biasa. Saya tak
siap, tak sanggup, karena saat melahirkan Faruq dulu tak sesakit ini.
Saya tak lagi melihat jam karena melihat jarum detik bergerak lambat
seakan membuat rasa sakitnya makin menjadi-jadi. Akhirnya dorongan
mengejan tiba, tapi rasanya ada yang salah. Berkali-kali saya mengejan,
si adik tak keluar-keluar. Saya lelah, kehabisan napas dan tenaga.
Setelah dibantu bidan didorong dari atas, akhirnya anak kedua kami
lahir. Ternyata bayinya besar sekali, 3,8 kilo. Begitu besar sampai
bahunya tak bisa melewati panggul saya yang sempit. Syukurlah dokter
kami pro normal jadi tak asal merujuk untuk operasi.
Perjuangan
tak berhenti sampai di situ. Saya drop, sampai gemetar karena kehabisan
tenaga dan saking banyaknya darah yang keluar. Kondisi saya yang begitu
lemah, tak kuat duduk dan muntah terus menerus memaksa saya tetap
bertahan di ruang bersalin hingga dini hari keesokan harinya. Saya
kapook, nggak mau hamil lagiiii..
Proses
kehamilan yang penuh liku dan persalinan yang menyakitkan membuat saya
down di hari-hari awal setelah melahirkan. Ditambah badan yang serasa
luluh lantak kelelahan karena mengurus dua anak. Mata ini rasanya
menangis pun tak sanggup. Filza menangis tiap malam dan takkan tidur
sebelum jam 2 pagi. Saat saya dan suami mau beristirahat, jam 4 pagi si
kakak sudah bangun minta susu dan akan tetap terjaga hingga sore. Begitu
terus setiap hari. Syukurlah suami begitu setia dan siaga mendampingi.
Tapi hati ini tak kuasa rasanya. Saya jarang tersenyum, mencium Filza
pun tak pernah. Saya mendekati Filza hanya saat dia minta nenen dan
popoknya basah saja. Kalau ada yang mau gendong, saya akan
menyerahkannya dengan suka rela. Bahkan saat ada yang bilang "aduuh
lucunyaa", saya pasti menggumam dalam hati "ih lucu dari mana?". Setelah
2 minggu berlalu, saya tertegun, jangan-jangan ini baby blues. Oh No, I
need help! Tapi mau curhat ke siapa?
Curhat
ke suami tak mungkin, karena saya tak ingin menambahi beban pikirannya.
Dia sudah sangaaat banyak berjasa mendampingi saya di saat-saat
terberat. Curhat ke ibu? Mana mungkiiiiiin. Ibu saya wanita tangguh luar
biasa, yang mampu membesarkan dan mendidik 7 anak sendiri (semua
kesundulan lho), dengan keadaan ekonomi pas-pasan dan suami yang tak
begitu pengertian. Lha saya, anak juga baru dua, ekonomi Alhamdulillah
cukup, dan suami yang luar biasa baik. Masa mau mengeluh ke beliau? Malu
dong, hehehe. Akhirnya saya putuskan curhat ke adik saya saja. Saya
ungkap semua, betapa saya sangat lelah, trauma, sedih, galau
segalau-galaunya karena baby blues ini. Benar saja, setelah curhat,
perasaan saya jadi ploong. Adik saya memang belum menikah, tapi dia
begitu dewasa dan pintar membesarkan hati saya.
Saya
pun mulai berusaha menumbuhkan kecintaan saya pada Filza. Mengajaknya
bercanda, menciumnya, dan menggendongnya berlama-lama. Wow anak ini
memang lucu ternyata. Dia cantik, murah senyum, pipinya gembul dan
suaranya sangat menggemaskan. Ah Filza, bunda sayaaaaaang sekali sama
kamu, Nak. Sempat terbersit penyesalan kenapa bisa terjadi baby blues di
awal kehadirannya, tapi saya sangat, sangat bersyukur itu semua sudah
berlalu.
After
all, punya dua anak dengan jarak berdekatan ternyata seru lhoo. Dulu
saya kebingungan mencari aktivitas atau permainan buat Faruq, sekarang
tak perlu kuatir karena Faruq sudah ada teman main. Setiap hari selaluu
saja ada kejadian lucu melihat tingkah mereka berdua. Well, memang ada
saat berat seperti di kala mereka tantrum atau sakit berbarengan, saya
dan suami juga kelelahan hingga akhirnya hal kecil seperti berebutan
mainan pun bisa menguras emosi. Tapi tawa mereka, keceriaan mereka saat
bermain berlarian di rumah, membuat kami menyadari bahwa itu anugrah tak
terkira. Bahkan kadang ketegangan antara saya dan suami bisa begitu
mudah mencair melihat kelucuan anak-anak.
Kekhawatiran
saya bahwa nanti ada kecemburuan di antara mereka ternyata tak
terbukti. Alhamdulillah, Faruq bisa begitu telaten membimbing Filza, dan
Filza begitu sayang kakaknya. Memang ada saat-saat mereka saling
mengusili satu sama lain, tapi ya begitulah anak-anak. Kalau keduanya
bangun ya rebutan, tapi kalau salah satu tidur atau tak ada pasti
satunya kangen dan mencari-cari. Yang lucu, kadang mereka bekerja sama
mengusili saya dan ayahnya, hahaha.
By
the way, ungkapan banyak anak banyak rejeki ada benarnya juga lho.
Setiap hamil, pasti ada satu proyek besar dan bergengsi yang kami
terima, yang pada akhirnya menjadi proyek rutin dan makin berkembang
setiap tahun. Oh iya, kami memang memiliki usaha sendiri. Tapi yang
jelas, arus rejeki makin deras mengalir seiring bertambahnya anak-anak.
Bahkan, saya yang seumur-umur tak pernah menang undian sekalipun, bisa
memenangkan hadiah utama sebuah sepeda motor di ajang pameran mobil
ternama. Saking senangnya, saya sampai jejingkrakan sambil berlari ke
tengah venue acara padahal sedang hamil Filza 8 bulan, hahaha. Rupanya
memang benar, setiap anak membawa rejeki sendiri-sendiri, seperti kata
suami saya :)
bahagia, karena kehamilan dan punya anak berderet dengan jarak usia berdekatan itu AMAZING! :)
Wow..keren keren kerennn..
BalasHapusHoreee sundulers,siiiip mak mawar ;) kesundulan memang amazing ;)
BalasHapusHo oh amaziing, makanya sampe diulang 2x hahaha
HapusBetul sekali. Saya speechless bacanya karena hampir sama seperti apa yg saya rasakan. Anak kedua saya lahir ketika si sulung berusia 22 bulan. Repot? iya. Cape? Pasti. Tapi menjadi ibu tetap luar biasa. Dan itu nikmat Tuhan yang patut disyukuri.
BalasHapusRepot iya, tapi happy jugaa lihat aksi mereka. Anak saya yg pertama skrg 4y1m, kedua 2y4m, nomor 3 umur 9m. Seruuu hehehe
Hapussaya berharap seperti bunda..
BalasHapusTapi sayangnya sampai sekarang saya belum juga diberi momongan. saya bernadzar kalau misal diberi momongan, saya tidak akan menunda untuk anak ke-2. sedikasihnya aja. Aamiin :)
Semoga bunda dyah segera mendapat momongan ya. Amin
HapusRata2 kami yang ada di komunitas the sundulers juga awalnya menanti momongan lama, sehingga kami memutuskan untuk tidak menunda anak ke 2 :)
Semangat bunda ;)
Amiin, semoga segera diberi momongan, anak sehat sholih sholiha yaaa
Hapus